Sejarah Republik Indonesia pernah mencatat tentang Piagam Jakarta, tentang tujuh kata (‘dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya”) yang mana polemic ini menggambarkan tentang adanya politik aliran yaitu aliran Islam (kebangsaan religious) dan kebangsaan (sekuler). Dari politik aliran inilah akhirnya kita juga mengenal adanya NII, DI/TII, dan gerakan-gerakan lain yang menggambarkan dua politk aliran. Secara tokoh kita mengenal Kartosowiryo, Kahar Muzakkar, Ibnu Hajar dll yang merupakan para pejuang Islam, namun dianggap pemberontak oleh Negara.
Sejarah Negara kita sebenarnya hanya sedikit gambaran tentang gambaran panjang pergolakan antara Negara dan Agama. Dunia Barat dalam sejarahnya sudah pernah merasakan pergolakan ini. Pola hubungan antar Negara dan Agama di sejarah Barat dapat ditipekan dalam dua tipe, Pertama : Gereja Negara (Negara Mendominasi Gereja), sehingga segala sesuatu dalam gereja ditentukan oleh Negara, hal ini terjadi sejak Konstantin dalam abad Ke 4 menjadi penganut Kristen, dan ini terus berjalan menerusi abad-abad pertengahan dan sampai memasuki era pencerahan. Kedua : Negara Gereja (Gereja mendominasi kehidupan Negara) dimana norma-norma yang berlaku dimasyarakat adalah norma Kristen.
Pola hubungan yang menggambarkan bahwa salah satu elemen apakah Agama atau Negara yang menjadi superior. Kedua tipe ini dalah sejarah Barat memberikan jalan buntu bagi perjalanan hubungan keduanya, dan ini tentunya sangat jauh berbeda dengan apa yang ada dalam Islam. Islam memberikan gambaran pola hubungan yang lain antara keduanya. Pada masa Kerasulan maka dapat kita akatakan bahwa Ad Din Huwa Daulah, Wad Daulah Hiya Ddin (Agama adalah Negara, Negara adalah Agama) keduanya menyatu dan melebur. Tapi tentunya akan berbeda ketika pasca kerasulan, yaitu zaman kekhalifahan danseterusnya, ketika Negara tidak lagi menjadi sesuautu bagian yang sacral secara universal. Pemimpin Negara (Khalifah) akan dipilih umat, dan umat akan mengontrol pemimpin dan umat memiliki hak berpendapat dan aspirasi dan sebaliknya Khalifah memiliki hak untuk di taati sebagaimana dia taat juga kepada Allah dan Rasul, dan ini tentunya selama sang Khalifah juga taat kepada Allah dan Rasul Nya, konsep seperti inilah yang akhirnya dinamakan oleh Syekh Abu ‘Ala Al Maududi dengan TheoDemokrasi (merupakan gabungan Theokrasi dan Demokrasi), sebagaimana ala Barat yang Theokrasi murni, yang akhirnya malah membawa pada kesewenangan, karena Theokrasi akhirnya juga dipengaruhi oleh politik dan Negara yang mengarah pada ketidakadilan.
Konsep hubungan Agama dan Negara ini hampir mirip dengan theory dalam ilmu hokum tentang hubungan Hukum dan Politik. Dimana ada beberapa Tipe, Pertama : Independentsi Hukum (Bebas dari ketergantungan), dan Dependentsi Politik (Ketergantungan politik kepada hukum). Kedua : Kebalikan tipe pertama Independentsi Politik (Bebas dari ketergantungan), dan Dependentsi Hukum (Ketergantungan hukum kepada politik). Dan Ketiga : Interdependentsi Politik dan Hukum (saling ketergantungan dan saling mempengaruhi).
Inilah gambaran pola hubungan politik dan hokum, yang memang tidak sama 100% dengan hubungan Agama dan Negara. Siapakah yang independent, apakah Agama atau Negara, dan ini kembali lagi kepada paparan diawal seperti tipe hubungan di Barat ( Baca : Negara Gereja dan Gereja Negara).
Islam seperti yang saya sampaikan sebelumnya mempunyai konsep pola hubungan yang berbeda, walaupun juga dalam tatanan keilmuan banyak pendapat tentang permasalahan ini, dimana banyak cendekiawan muslim yang memiliki pendepat bersebarangan.
Konsep modern tentang pola hubungan Negara dan Islam muncul sebagai reaksi dan respon terhadap runtuhnya kekhalifahan terakhir di Turki pada tahun 1924. Rasyid Ridho (1865-1935)
misalnya berpendapat bahwa kekhalifahan selalu merupakan perpaduan antara otoritas spiritual dan temporal (khalifah darurah) yang membedakan negara muslim/non muslim (berdasar agama). Berbeda denga Ali Abdul Raziq (1888-1966) yang terkenal dengan sikap sekulernya, malah sebaliknya berpendapat bahwa Islam adalah “risalah dan bukan pemerintahan; Agama dan bukan negara. Abd ar-Razzaq AlSanhuri (1895-1971) seorang faqih yang juga ahli dalam bidang hukum sekular modern , mengusulkan kekhalifahan baru yang mengetuai sebuah majelis umum yang terdiri atas para utusan dari seluruh negara dan komunitas muslim (le Caifat, paris, 1926) dia
mengusulkan penghapusan kekhalifahan pola lama. Satu dasawarsa kemudian Abu al-A‟la
Maududi (1903-1979) Penulis India-Pakistan, mempunyai peran yang besar dalam mempromosikan al-Islam din wa Al-Daulah, reaksinya terhadap penghapusan kekhalifahan dengan membentuk gerakan khilafah, Jama‟ah al-Islamiyah. Hasan al-Banna (1906-1949) pendiri Ikhwan al-Muslimin di mesir 1928, yang juga mempunyai kesimpulan yang sama, ungkapannya yang terkenal adala ”Nasionalisme islam jauh lebih unggul dari nasionalisme lokal” baginya, “Islam adalah segalanya, iman dan amal, tanah air & nasionalitas, agama & negara, spiritualitas dan tindakan, kitab dan pedang”. Begitupula Sayyid Qutb (1906-1966) anggota Ikhwan, merupakan tokoh sangat berpengaruh bagi kaum muslim politik kontemporer.
Jadi jumhur ulama mengesankan bahwa Islam dan Negara tidak busa dipisahkan, karena Islam adalah system hidup yang merangkum seluruh aspek kehidupan dan salah satunya adalah politik dan Negara.
Dalam tatanan praktis dalam masalah-masalah yang bersifat Prinsip / Ushul maka Islam harus menjadi independent dan Negara harus dependent terhadap Islam, dan inilah yang dimaksud oleh Abu ‘Ala al Mauddudi dengan letak Theokrasi nya, sedangkn dalam hal yang bersifat tekhnis dan tidak prinsip / furu’ dan dapat diperdebatkan maka Islam dan Negara bisa saling dependent atau interdependent.
Islam adalah agama yang sempurna dan mengatur segala aspek kehidupan, karena inilah pola hubungan Islam dan Negara akan sangat mungkin berbeda dengan pola hubungan Negara dengan Agama yang lain.
Islam A’la wala Yu’la ‘Alaih (Islam Tinggi dan Tidak ada yang lebih tinggi dari nya)
Tinggalkan komentar