Nilai Intrinsik Ibadah


Istilah Nilai Intrinsik merupakan istilah dalam bidang ekonomi, dan lebih khusus tentang keuangan dan perbankan. Istilah ini juga sering digunakan dalam bidang jurnalis, lebih khusus dalam hal puisi dan novel.

Dalam istilah ekonomi dan keuangan maka nilai intrinsik diartikan sebagai nilai suatu barang melekat/intrinsik pada barang itu sendiri.
Uang bisa terbuat dari logam atau juga kertas dan sejenisnya. Uang logam adalah uang yang terbuat dari logam, dan biasanya dari emas atau  perak karena kedua logam itu memiliki nilai yang cenderung tinggi dan stabil, bentuknya mudah dikenali, sifatnya yang tidak mudah hancur, tahan lama, dan dapat dibagi menjadi satuan yang lebih kecil tanpa mengurangi nilai. Dan inilah kelebihan uang logam dari kertas, walaupun juga ada kekurangannya.  Uang memiliki tiga macam nilai:

  1. Nilai intrinsik, yaitu nilai bahan untuk membuat mata uang, misalnya berapa nilai emas dan perak yang digunakan untuk mata uang.
  2. Nilai nominal, yaitu nilai yang tercantum pada mata uang atau cap harga yang tertera pada mata uang. Misalnya seratus rupiah (Rp. 100,00), lima ratus rupiah (Rp. 500,00), atau seratus ribu rupiah (Rp.100.000) dll
  3. Nilai tukar, nilai tukar adalah kemampuan uang untuk dapat ditukarkan dengan suatu barang (daya beli uang). Misalnya uang Rp. 500,00 hanya dapat ditukarkan dengan sebuah permen, sedangkan Rp. 10.000,00 dapat ditukarkandengan semangkuk bakso), dll

Saya melihat korelasi antara istilah nilai intrinsik ini dengan fenomena beribadah kita dalam keseharian, dan ini dimulai dari beberapa pertanyaan singkat.

Mengapa ketika kita sudah Shalat, namun tidak ada perbedaan dengan sebelum kita Shalat ?

Mengapa ketika kita sudah Puasa, namun tidak ada perbedaan dengan sebelum kita Puasa ?

Mengapa ketika kita sudah Zakat, namun tidak ada perbedaan dengan sebelum kita Zakat ?

Mengapa ketika kita sudah Umrah, namun tidak ada perbedaan dengan sebelum kita Umrah?

Mengapa ketika kita sudah Haji, namun tidak ada perbedaan dengan sebelum kita   Haji ?

Hal ini sangat mungkin terjadi dikarenakan kita hanya melakukan rutinitas secara formal dan tidak sampai kepada nilai hakiki dan esensi dan ri sebuah ibadah itu sendiri. Bergerak tanpa penghayatan, Beribadah tanpa niat ikhlas dan kesadaran, Beramal tanpa kekhusu’an.

Kita hanya melepaskan kewajiban, tanpa mengambil nilai esensi sebenarnya, sehingga tidak ada perubahan yang terjadi menuju kebaikan.

Kalau kita analogikan dengan istilah nilai intrinsic di atas, maka ibadah kita seringkali hanya sampai pada nilai nominal dan tukarnya saja, namun sangat jarang sampai pada nilai intrinsiknya, yang padahal nilai intrinsic inilah menjadi tujuan utama.

Sehingga sangat banyak orang setiap harinya shalat, sangat banyak orang setiap tahunnya puasa, zakat, dan haji. Namun setiap kali itu pulalah nilai-nilai kebaikan itu padam dan hilang setelah nya.

 

About aviv

Pemerhati Sosial Politik Keagamaan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, H. Muhammad Afif Bizri, SHI, SH, M.Hum, lahir di Kandangan pada 12 Oktober 1981. Menimba ilmu sejak TK sampai MTsN di Kota Kandangan, lalu melanjutkan di Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Martapura lulus tahun 2000 lalu Kuliah S1 dan S2 di Malang, Jawa Timur. Sejak dari awal suka berkecimpung dalam dunia organisasi, semasa SD - MTsN aktif di OSIS dan Pramuka. Mengikuti Jambore Nasional (Jamnas) 1996 di Cibubur, Wakil Ketua OSIS ketika MTsN, dan pengurus inti di OSIS ketika dijenjang aliyah. Ketika Mahasiswa sempat aktif di beberapa organisasi seperti LDK, SKI, BEM Universitas, Senat, PAHAM dan KAMMI. Sekarang menjadi Abdi Negara dan Masyarakat di Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, berdomisili di Hulu Sungai Selatan, Kal Sel menikah dengan seorang perempuan bernama Mahmudach, S.ST. Bersama sama merajut tali kehidupan menuju Ridha Ilahy. Sekrang sudah dikarunia 4 orang anak, Muhammad Faiz Al Fatih, Muhammad Aqsha Ash Shiddiq, Muhammad Thoriq Az Ziyad dan Muhammad Hammas Al Izzat Lihat semua pos milik aviv

Tinggalkan komentar