Sejarah Hari Solidaritas Hijab Internasional


Al-yaumul `alami lil hijab atau International Hijab Solidarity Day dideklarasikan tahun 2004 lalu di London, Inggris. Konferensi sehari bertemakan “Assembly for the Protection of Hijab” atau “Majelis untuk Perlindungan Hijab” melahirkan sebuah petisi yang berisikan dukungan terhadap jilbab secara ketat. bahkan konferensi yang diselenggarakan 12 Juli 2004 itu menetapkan 4 September sebagai hari solidaritas jilbab internasional (International Hijab Solidarity Day).
Syariat Hijab masih menjadi kontroversi di banyak negara sampai tulisan ini dibuat
Konferensi ini dibuka walikota London, Ken Livingstone, dan diikuti 300 delegasi yang mewakili 102 organisasi-organisasi Inggris dan internasional. Ken Livingstone adalah salah satu tokoh Barat yang dikenal konsisten membela hak-hak kaum muslim Inggris dalam kebebasan menjalankan kewajiban agamanya, termasuk dalam persoalan jilbab ini. Pernyataan-penyataannya cukup keras dan tegas menentang pihak-pihak Eropa yang mencoba mengusik ketenangan kehidupan beragama. Disamping itu, tokoh muslim terkemuka Sheikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi dan Prof. Tariq Ramadan juga hadir dalam konferensi ini menjadi narasumber.

Saat itu, pelarangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah Perancis telah memicu kemarahan kaum muslimin sedunia. Berbagai aksi-aksi mengecam keputusan PM Perancis pun meluap di berbagai negara. Untuk diketahui, kepala pemerintahan Perancis, PM. Jean-Pierre Raffarin, telah mempelopori Eropa mengeluarkan Undang-Undang tentang larangan jilbab di sekolah-sekolah Perancis. Keputusan ini pun diperkuat oleh Presiden Perancis Jacques Chirac yang menyerukan dilarangnya penggunaan simbol keagamaan itu untuk mempertahankan sistem pemerintahan Perancis yang sekuler pada awal tahun 2004.
Akibatnya, pada pertengahan Januari 2004, ribuan orang turun ke jalan-jalan di Eropa dan Timur Tengah memprotes rencana Perancis yang akan melarang anak-anak perempuan menggunakan jilbab. Di London, Paris, Beirut dan Amman ribuan wanita berjilbab melakukan aksi menentang undang-undang diskriminatif tersebut. Demonstrasi juga berlangsung di Kairo, Berlin dan di Tepi Barat.
Warga Muslim Perancis menggelar aksi demonstrasi pada 7 Februari 2004 di depan Gedung Majelis Nasional Nasional Perancis. Aksi itu merupakan bentuk protes kalangan Muslim Perancis terhadap undang-undang larangan jilbab tampil di sekolah-sekolah pemerintah. Movement for Justice and Dignity yang mengkoordinir aksi ini meng-klaim lebih dari 10.000 massa terlibat dalam demo menentang undang-undang anti jilbab yang dikeluarkan pemerintah Perancis tersebut. Aksi-aksi ini didukung perwakilan kelompok-kelompok agama, para aktivis dan organisasi HAM lainnya.
Penyelenggaraan konferensi yang digawangi oleh Pro-Hijab Organization ini diselenggarakan di tengah semakin meluasnya sentimen anti-Islam yang terjadi di negara-negara Barat, terutama negara-negara Eropa yang selama ini dikenal relatif terbuka kepada Islam. Pasca serangan 11 September 2001 yang kontroversial itu kebencian masyarakat Barat meledak. Dan membuka kedok kerapuhan kebebasan berekspresi ala Barat yang selama ini mereka elu-elukan.
Kalangan sekuler, kalangan no-muslim, dan kalangan munafik bersatu padu membidik umat Islam baik dalam bentuk serangan fisik maupun opini. Jilbab sebagai simbol kemuliaan dan kewajiban kaum muslimah menjadi target strategis bagi ‘kelompok sekutu’ itu untuk menghancurkan moral kaum muslimin sedikit demi sedikit. Hal ini bisa dipahami, karena jilbab adalah tanda ketaatan seorang muslimah kepada agamanya. Pelarangan dan pelecehan demi pelecehan terhadap busana yang menutup aurat ini pun semakin meningkat tajam di belahan Eropa dan Amerika.
Pembenturan masalah jilbab dengan tatanan kehidupan sosial politik di Barat yang sebenarnya telah terjadi jauh sebelum tragedi 2004 ini memang membuat prihatin banyak kalangan. Tidak hanya membuat miris ulama-ulama muslim saja, para pemikir dan kalangan ilmiah Barat pun turut mencemaskan keadaan ini. Karenanya, tokoh-tokoh di Barat yang lebih netral pun turut bersikap. Diantaranya adalah Walikota London Ken Livingstone, yang bersikap tegas membela kebebasan berjilbab. Seorang anggota Kongres AS, Brat Sherman dari Partai Demokrat asal California, juga mengajukan draft resolusi mengecam undang-undang (UU) anti jilbab Perancis (10/2/2004).
Ledakan diskriminasi anti-Jilbab yang terjadi demikian meluas semenjak awal 2004 itu sesuai dengan apa yang di kemukakan seorang pemikir dan penulis Barat Wendy Shalit, dalam bukunya yang terbit tahun 1999 berjudul berjudul A Return to Modesty atau ‘Kembali Kepada Kesederhanaan’, ia menuliskan, “Tidakkah merupakan sebuah hal yang aneh ketika kita tidak bisa berbicara mengenai sebuah hal yang sangat penting dan sangat kita perlukan? Kita terpaksa membicarakan masalah penting itu secara rahasia dan sembunyi-sembunyi. Hijab seorang perempuan adalah salah satu topik yang telah dilarang untuk dibicarakan pada zaman ini dan merupakan salah satu dari pintu-pintu yang tertutup, yang ditampilkan sebagai hal yang bahaya. Masalah hijab tidak sekadar menjawab sebuah pertanyaan, melainkan merupakan pakaian yang tepat bagi kaum perempuan, sehingga topik ini bisa menguncang segalanya.”
Untuk Muslimah
Kontroversi penggunaan hijab di dunia internasional masih begitu kuat. Sebagai seorang muslim, khususnya muslimah, hendaklah kita tetap berpegang teguh pada ajaran Islam dan bersama-sama istiqamah di jalan kebenaran, termasuk mengenakan syariat hijab bagi wanita.
Disadur dari http://rhisy.blogsome.com/2007/08/28/21/ dengan penyesuaian dari redaksi.di banyak negara sampai tulisan ini dibuat dan  http://bppiuns.blogspot.com/2012/09/sejarah-hari-solidaritas-hijab.html

 

About aviv

Pemerhati Sosial Politik Keagamaan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, H. Muhammad Afif Bizri, SHI, SH, M.Hum, lahir di Kandangan pada 12 Oktober 1981. Menimba ilmu sejak TK sampai MTsN di Kota Kandangan, lalu melanjutkan di Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Martapura lulus tahun 2000 lalu Kuliah S1 dan S2 di Malang, Jawa Timur. Sejak dari awal suka berkecimpung dalam dunia organisasi, semasa SD - MTsN aktif di OSIS dan Pramuka. Mengikuti Jambore Nasional (Jamnas) 1996 di Cibubur, Wakil Ketua OSIS ketika MTsN, dan pengurus inti di OSIS ketika dijenjang aliyah. Ketika Mahasiswa sempat aktif di beberapa organisasi seperti LDK, SKI, BEM Universitas, Senat, PAHAM dan KAMMI. Sekarang menjadi Abdi Negara dan Masyarakat di Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, berdomisili di Hulu Sungai Selatan, Kal Sel menikah dengan seorang perempuan bernama Mahmudach, S.ST. Bersama sama merajut tali kehidupan menuju Ridha Ilahy. Sekrang sudah dikarunia 4 orang anak, Muhammad Faiz Al Fatih, Muhammad Aqsha Ash Shiddiq, Muhammad Thoriq Az Ziyad dan Muhammad Hammas Al Izzat Lihat semua pos milik aviv

Tinggalkan komentar